Mobilisasi SDM

Mobilisasi SDM
Gorontalo Bisnis Training

Selasa, 08 November 2011

"MODEL KEMIMPINAN ALKITAB"


Model Kepemimpinan Alkitab
OLEH : EFRAIM MATANDATU

Konsep kepemimpinan umum berbeda dengan konsep kepemimpinan yang ada di Alkitab. Konsep kepemimpinan umum identik dengan kekuasaan/wewenang, yang sering kali didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk memengaruhi orang lain. Akibatnya, banyak orang menganggap bahwa seorang pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang memiliki ciri-ciri khusus, seperti memunyai karisma dan daya persuasi yang sangat baik dalam menunjang aksi kepemimpinannya.

Bagaimana dengan kepemimpinan Kristen? Pada dasarnya, hakikat utama kepemimpinan Kristen adalah pengungkapan kehendak Allah untuk melayani satu kelompok tertentu, yang tujuannya adalah untuk memuliakan Dia. Untuk mengetahui seperti apakah model kepemimpinan Kristen itu, maka selama bulan September, e-Leadership akan mengupas topik ini. Karena artikel yang akan kami sajikan cukup panjang, maka kami membaginya menjadi dua bagian. Kiranya sajian kami dalam edisi ini (edisi 102) dapat menjadi berkat dan meningkatkan wawasan, serta mengingatkan kembali akan panggilan setiap kita sebagai seorang pemimpin Kristen.

"Ajaran orang bijak adalah sumber kehidupan, sehingga orang terhindar dari jerat-jerat maut." (Amsal 13:14)

Setiap generasi memiliki pemimpin yang dibangkitkan Allah untuk memimpin umat-Nya. Kelihatannya, tidak pernah ada dalam sejarah, umat Allah tidak memiliki pemimpin. Setiap generasi umat Allah membutuhkan pemimpin yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan konteks historis. Artinya, pemimpin bersifat unik. Keunikan masing-masing pemimpin menyebabkan perbandingan kepemimpinan harus dilakukan dengan memerhatikan konteks historis masing-masing. Secara singkat, seorang pemimpin muncul dalam konteks dan kurun waktu tertentu. Kegagalan dan keberhasilan pemimpin terikat unik kepada konteks dan periode kepemimpinan. Keberhasilan seorang pemimpin mungkin dianggap sebagai kegagalan oleh generasi berikutnya, sehingga perbandingan evaluatif kepemimpinan seseorang sebenarnya sulit dilakukan. Perbandingan evaluatif yang dilakukan tanpa memerhatikan konteks historis akan memberikan penilaian bernuansa penghakiman.

Meski demikian, tidak berarti kontinuitas sejarah kepemimpinan tidak dapat ditelusuri di dalam gereja. Gereja terus hadir di dalam sejarah di bawah kepemimpinan Kristus -- kepala gereja dan para pemimpin yang adalah hamba-hamba-Nya. Terjadinya diskontinuitas okasional kepemimpinan gereja terutama disebabkan oleh situasi atau konteks di mana gereja berada. Dengan demikian, setiap diskusi mengenai kepemimpinan gereja harus memerhatikan unsur kontinuitas dan unsur diskontinuitas. Beragam pemimpin diutus Allah untuk menjawab berbagai kebutuhan masyarakat di mana gereja berada. Para pemimpin melayani-Nya dengan menerapkan prinsip-prinsip kepemimpinan yang bersumber dari Alkitab. Kebutuhan masyarakat berubah dan berbeda pada setiap zaman, demikian juga bentuk dan model kepemimpinan. Meski aspek diskontinuitas perlu diperhatikan, namun tulisan berikut hanya membahas aspek kontinuitasnya. Pembahasan dimulai dengan merumuskan pemimpin sebagai pelayan Allah. Sebagai pelayan Allah, pemimpin menyampaikan kehendak Allah kepada komunitas yang dipimpinnya. Hakikat utama kepemimpinan adalah pengungkapan atau penyataan kehendak Allah bagi masyarakat. Secara ringkas, pemimpin adalah pelayan firman Allah. Unsur pelayanan dan firman Allah merupakan dua unsur yang tidak terpisahkan dalam kepemimpinan. Keduanya membentuk aspek kontinuitas suatu kepemimpinan. Kepemimpinan Kristen adalah kepemimpinan yang memerhatikan dimensi pelayanan dan dimensi firman Allah. Esensi fundamental suatu kepemimpinan berjalan dalam jalur pelayanan dan firman Allah. Apakah memang demikian model pemimpin dalam Alkitab? Bagian berikut akan menguraikannya secara ringkas.
PEMIMPIN YANG BERHASIL

A.  P
EMIMPIN MODEL BIBLIKAL

Dalam Perjanjian Lama, dijumpai relatif banyak bentuk dan model pemimpin umat. Tulisan ini hanya melihat 2 orang pemimpin ketika umat Allah berada pada masa yang sangat kritis dalam sejarahnya. Dua pemimpin tersebut adalah Musa dan Ezra. Musa memimpin umat Allah keluar dari perbudakan di Mesir, untuk hidup menjadi suatu bangsa merdeka dan berdaulat. Ezra memimpin umat Allah kembali dari pembuangan, untuk merajut kembali puing-puing kebangsaan yang sudah hancur.

1. Musa

Menurut Gerhard von Rad, Musa adalah representasi umat yang menerima perkataan dan perbuatan Allah. Panggilan Musa menjadi pemimpin bertujuan untuk memberitahukan kehendak Allah kepada umat Israel di Mesir. Dengan perkataan lain, hal paling utama dalam hidup dan pelayanan Musa adalah menyampaikan firman Allah kepada umat. Jadi, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa peran utama Musa sebagai pemimpin adalah pengajar firman Allah. Dengan nada sama Derek Tidball menulis:

"Sebagai seorang pemimpin, Musa tidak dipanggil untuk menjadi orang yang kreatif, tetapi dipanggil hanya untuk menjadi perantara Allah yang setia (Ulangan 5:23-27). Tugas Musa adalah menyampaikan ketetapan-ketetapan yang Allah berikan kepadanya, dan Musa harus melakukannya dalam seluruh aspek moral, religius, dan sosial mereka. Sebagai umat, kehidupan keseharian mereka harus selaras dengan perintah-perintah Allah, yang melalui Musa sebagai perantara, memperkenalkan kehendak-Nya. Demikianlah cara Musa membangun umat Allah dan mereka menjadi umat yang berkenan."

Musa telah membuka jalan bagi generasi pemimpin berikutnya, bahwa firman Allah harus menjadi aspek sentral dan fundamental dalam hidup dan kepemimpinan. Firman Allah menjadi titik awal, karena sejatinya otoritas kepemimpinan bersumber dari Allah. Menjadi pemimpin berarti menghidupkan firman Allah melalui dan di dalam hidup komunitas. Fungsi pemimpin sebagai pengajar firman Allah kepada komunitas menjadi paradigma pemimpin generasi berikutnya. Pelayanan Musa sebagai pemberita firman Allah, tidak hanya sekadar memberi informasi kognitif kepada umat Allah. Musa berusaha dengan segenap hati, agar umat Allah menghidupkan firman Allah melalui dan di dalam hidup mereka. Moralitas bangsa dibentuk oleh firman Allah. Istilah "dengan segenap hati", menunjuk pada usaha Musa yang terlebih dahulu menghidupkan firman Allah melalui dan di dalam hidupnya, barulah kemudian umat Allah belajar dari Musa bagaimana menghidupkan firman Allah dalam hidup mereka. Demikianlah Musa menjadi pemimpin. Kepemimpinan Musa diterima umat Allah karena mereka menerima firman Allah sebagai norma kehidupan.

Pemimpin generasi berikut yang muncul dalam kehidupan bangsa Israel seperti para imam, para nabi, orang-orang berhikmat (wise men), antara lain memberi penekanan kuat terhadap peran dan fungsi firman Allah dalam hidup dan pelayanan. Pemimpin adalah orang yang mengajarkan kehendak Allah dalam suatu komunitas, dan memimpin mereka seperti seorang gembala yang membawa domba-domba ke padang rumput bernama ketaatan. Hanya dengan demikian pemimpin memiliki makna dan wibawa. Sebagai akibatnya, umat Allah dibangun dalam ketaatan kepada Allah untuk hidup di dunia sebagai terang dan berkat bagi bangsa-bangsa. Bangsa Israel dipilih bukan karena Allah menolak bangsa lain. Israel dipanggil untuk satu tugas yakni hidup sebagai umat Allah, sehingga bangsa-bangsa lain mengerti makna menjadi umat Allah. Bangsa Israel menjadi model bagi bangsa-bangsa lain. Dalam kaitan dengan ini, Musa berperan untuk memimpin bangsa Israel untuk hidup sebagai umat Allah, dengan melihat terlebih dahulu hidup dan pelayanan Musa yang berpusatkan pada firman Allah. Musa berhasil membawa firman Allah ke tengah-tengah hidup umat Allah, sehingga kepemimpinan Musa berakar kuat menembus berbagai periode sejarah bangsa Israel. Nama Musa terus mendapat penghormatan takzim dari masyarakat Yahudi.

2. Ezra

Ezra disebut sebagai "imam dan ahli Taurat Allah semesta langit" (Ezra 7:11,12,21). Fungsi sebagai ahli Taurat lebih menonjol dalam pelayanan Ezra. Sebenarnya, pelayanan Ezra di Yerusalem tidak terlalu lama. Ezra mengunjungi Yerusalem disertai orang-orang pembuangan yang kembali ke Yerusalem (Ezra 7:11-26). Ezra berangkat ke Yerusalem sebagai utusan raja Artahsasta, raja negeri Persia. Ezra tidak hanya dilengkapi dengan kuasa dan otoritas oleh raja Artahsasta, tetapi juga diperlengkapi dengan emas dan perak dari perbendaharaan kerajaan. Orang-orang Yahudi yang berada di pembuangan juga turut mendukung dengan memberikan uang kepada Ezra. Setelah menempuh perjalanan selama 4 bulan, akhirnya Ezra tiba di Yerusalem pada tahun 458 sebelum Era Kristus. Di Yerusalem, Ezra menerapkan firman Allah kepada komunitas umat Allah. Ezra memandang bahwa umat Allah termasuk imam-imam dan orang Lewi, telah mengabaikan firman Allah melalui perkawinan campur dengan perempuan dari etnis lain. Ezra mengajarkan kembali firman Allah, dan mendorong umat Allah untuk menaatinya dengan sepenuh hati.

Setelah reformasi di Yerusalem, Ezra kembali ke Persia. Meski pelayanan Ezra relatif singkat di Yerusalem, namun ia telah memberikan dampak yang luar biasa dalam kehidupan komunitas umat Allah. Reformasi yang terjadi di tengah-tengah umat pada dasarnya adalah penegasan kembali untuk melakukan firman Allah dalam hidup sebagai umat Allah. Ezra dengan tekun mendemonstrasikan bagaimana menghidupi firman Allah dan mendorong umat Allah untuk meneladaninya. Meski Ezra telah mengadakan perubahan besar di dalam kehidupan bangsa Israel, tidak banyak yang kita ketahui tentang kehidupan pribadinya. Dibanding dengan tokoh Alkitab lainnya, informasi tentang Ezra relatif sangat singkat. Mungkin hal ini disebabkan fokus pelayanan Ezra adalah pada firman Allah. Hidup Ezra merupakan gambar hidup firman Allah. Membicarakan Ezra berarti membicarakan firman Allah. Meski informasi tentang dirinya relatif sedikit, namun perbuatan Ezra dikenang terus. Ingatan masyarakat tentang Ezra sebagai ahli Taurat tidak lekang oleh perubahan zaman. Ezra dipandang sebagai seorang tokoh masyarakat karena perannya dalam pengajaran kitab suci. Kesentralan firman Allah dalam kehidupan dan kepemimpinan Ezra begitu mencolok.

Ezra dengan kuat dan konsisten mengekspresikan komitmennya kepada firman Allah, sehingga ia terus dikenang sebagai ahli Taurat. Ezra memiliki komitmen tinggi terhadap firman Allah, bahkan dianggap sebagai tokoh utama dalam gerakan ahli Taurat yang berkembang pada masa pembuangan. Di tanah pembuangan, bangsa Israel bergantung pada ahli Taurat untuk menafsirkan dan memahami hukum Musa. Para ahli Taurat berfungsi sebagai pemimpin. Ahli Taurat diterima masyarakat sebagai pemimpin disebabkan peranan mereka mengajarkan firman Allah kepada umat. Para ahli Taurat memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat. Ahli Taurat muncul sebagai pemimpin masyarakat, yang berasal dari semua golongan masyarakat, sehingga tidak terbatas pada kelompok para imam saja. Sebagai orang terlatih dalam penafsiran Taurat, para ahli Taurat berfungsi sebagai teolog yang melatih masyarakat untuk melakukan perintah Taurat, dan sebagai hakim dalam membuat keputusan yang menyangkut hukum agama dan hukum pidana (penal law). Hukum Taurat dipelajari dan didiskusikan oleh semua golongan masyarakat, tidak terbatas hanya pada elite agama. Jadi, Ezra tidak hanya mengawasi penulisan kembali Taurat, melainkan menghidupkan maknanya untuk dilakukan dalam masyarakat.
"Kualitas seorang pemimpin dapat dilihat dari cara memberikan alasan dan penilaian." (Tacitus)

 (
Mazmur 20) Mazmur ini kemungkinan besar lahir dalam konteks perang yang harus dilakukan raja Israel (ayat 7-10). Dalam peperangan, perhitungan yang masak, sarana perang yang baik, dan strategi adalah hal-hal utama untuk mencapai kemenangan. Namun untuk raja dan pemimpin Israel, perlu hal lain lebih penting daripada sekadar unsur strategis tadi.

Pertama, raja perlu dukungan doa rakyat. Keunikan doa rakyat dalam mazmur ini tidak semata ditujukan kepada Allah, tetapi ditujukan kepada raja (ayat 2-6). Itu berarti raja diingatkan bahwa bukan saja dukungan rakyat vital bagi keberhasilannya, tetapi jawab Tuhan atas doa tersebut adalah yang terpenting. Itu berarti bahwa dukungan dan doa rakyat harus sesuai dengan kehendak Allah. Usaha dan rancangan raja ditempatkan di bawah ketentuan tempat kudus. Doa rakyat saja tidak cukup. Kedua, raja perlu dukungan hamba Allah. Suara imam atau nabi (ayat 7-9), mengingatkan raja bahwa keberhasilan itu tidak berasal dari kemampuannya semata, tetapi dari tangan kanan Allah yang perkasa (ayat 7b).

Sejarah Israel dan Yehuda memiliki contoh-contoh raja yang agung dan besar. Raja-raja seperti Salomo, Omri, Yerobeam II, dan lainnya adalah raja-raja yang sukses dari segi kepemimpinan politis, perluasan wilayah, kemajuan ekonomi, dan lainnya. Tetapi mereka gagal karena mereka tidak taat, bermegah dan bersandar pada kekuatan selain Allah. Mereka bahkan murtad. Bukan kepemimpinan demikian yang kini dipaparkan Mazmur ini. Kita perlu mendoakan agar setiap pemimpin mengandalkan Allah dan melaksanakan kehendak-Nya.

B.  KEPEMIMPINAN YANG BIBLIKAL
Kita telah menyimak model kepemimpinan Alkitab  yang memfokuskan pada aspek pelayan dan firman Allah sebagai dasar utama kepemimpinan. Panggilan Allah kepada Musa dan Ezra secara khusus menerapkan prinsip dasar sebagai pelayan dan firman Allah sebagai fokus utama kepemimpinannya.

Bagian akhir artikel ini akan membahas pentingnya firman Allah sebagai fokus sentral, yang wajib dimiliki dalam kepribadian setiap pemimpin Kristen masa kini. Hanya pemimpin yang meletakkan firman Allah dalam pusat pelayanan dapat melihat manusia sebagai fokus pelayanannya. Oleh sebab itu, sebagai pemimpin-pemimpin Kristen, marilah kita belajar menjadi pelayan firman Allah. Selamat menyimak edisi kali ini, semoga Anda mengalami terobosan baru dalam mempraktikkan prinsip-prinsip kepemimpinan alkitabiah.
Kepemimpinan Kristen harus didasari dengan kebenaran-kebenaran yang alkitabiah. Semua filosofi ataupun prinsip-prinsipnya harus selaras dengan kebenaran-kebenaran firman Tuhan. Dewasa ini banyak gereja-gereja yang memberikan seminar-seminar mengenai kepemimpinan dengan mengundang pembicara seorang motivator sekuler. Hal ini tidak seratus persen salah, tetapi gereja harus bersikap kritis terhadap prinsip-prinsip yang mereka sampaikan.

Setiap artikel memberikan pembahasan dan penjelasan yang menarik, yang dapat membuka pola pikir kita dalam dunia pelayanan. Dalam kesempaan ini saya berharap dan berusaha untuk menjelaskan dengan gaya bahasa yang sederhana, sehingga saudara-saudara dapat mencerna  dengan lebih mudah serta  akan menemukan kebenaran-kebenaran alkitabiah tentang kepemimpinan berhati hamba, yang dapat membangun suatu warisan berkat yang langgeng. Silakan membaca artikel dibawah ini, dan siapkan diri Anda untuk menjadi seorang pemimpin dan seorang pelayan Tuhan yang memiliki visi dan dasar alkitabiah yang benar.
Tuhan Yesus memberkati.

"Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri." (Yakobus 1:22)

Secara tradisional, Ezra dipandang sebagai pencetus Yudaisme. Dengan memberi penekanan pada peranan penting Taurat dalam hidup masyarakat, Ezra telah memberi fondasi yang solid dan kukuh terhadap Yudaisme. Inilah salah satu alasan mengapa bangsa Israel dapat bertahan di kemudian hari, ketika menghadapi pengaruh Helenisasi (pengaruh kebudayaan Yunani termasuk dalam tata cara hidup sangat dominan pada zaman itu) dan pengaruh budaya dan agama penguasa asing. Saat sejarah bangsa Israel yang kritis, Ezra tampil ke panggung sejarah dengan mendorong umat kembali kepada kitab suci. Gerakan reformasi yang dicetuskan Ezra berkaitan erat dengan munculnya rumah-rumah ibadat (sinagoge) di luar dan di dalam Palestina, yang berperan penting dalam reformasi tersebut. Peranan sinagoge sebagai pusat pendidikan Taurat berlangsung hingga masa pelayanan Yesus. Dalam Injil cukup sering Yesus diberitakan berada di sinagoge mengajar orang banyak. Bahkan sinagoge kemudian hari berfungsi sebagai tempat penyebaran Injil. Paulus selalu memulai pemberitaan Injil di tiap kota dengan mengunjungi sinagoge. Ibadah di sinagoge tidak hanya dihadiri warga Yahudi, melainkan juga warga bukan Yahudi. Berbagai etnis bukan Yahudi yang datang ke sinagoge terbagi dalam dua kelompok yakni
  A. ProselitPengikut agama Yahudi baru
  B. Phobos Tou Theou orang yang takut akan Tuhan

Reformasi berhasil menempatkan hukum Taurat sebagai pusat kehidupan bangsa Israel. Hukum Taurat ditafsirkan secara akurat untuk diterapkan secara ketat. Usaha demikian menyebabkan bangsa terbagi menjadi beberapa golongan. Reformasi yang dibawa Ezra, meski satu tujuan, melahirkan beberapa gerakan yang bersifat keagamaan seperti Farisi Penganut aliran agama Yahudi zaman dahulu, yang terkenal sangat fanatik pada ajaran agama dan tradisi mereka, Saduki (Suatu golongan pemimpin agama Yahudi, yang sebagian besar terdiri dari imam-imam. Mereka mendasarkan pengajarannya pada kelima kitab Musa dan menolak segala adat istiadat yang ditambahkan kemudian. Mereka tidak percaya kepada kebangkitan dan adanya malaikat. Terhadap kebudayaan Yunani golongan ini sangat terbuka), Eseni (Sebuah mazhab Yahudi dengan kecenderungan melakukan askese secara keras), dan Zelot (Golongan orang-orang Yahudi yang mati-matian menentang kuasa penjajah Romawi, sering berupa gerakan di bawah tanah. Nama itu berarti: orang yang giat berjuang untuk kebebasan politik)
1. Pada masa pelayanan Yesus, keberadaan berbagai aliran Yudaisme sebagai hasil    perbedaan tafsiran tidak dipersoalkan Yesus. Meski Yesus menerima keberadaan mereka, namun Ia tidak mengidentifikasi diri-Nya ke dalam salah satu golongan atau aliran Yudaisme. Yesus juga tidak berusaha menggantikan aliran-aliran yang ada. Keragaman aliran dalam Yudaisme tidak dapat dipandang sebagai efek negatif reformasi yang dibawa Ezra. Jika dalam Injil Yesus sering diberitakan berhadapan secara kritis dengan aliran-aliran Yudaisme, khususnya golongan Farisi, maka yang mendapat kecaman adalah sikap orang Farisi yang tidak menjalankan secara konsisten apa yang mereka yakini benar. Dengan perkataan lain, bukan alirannya yang dikecam Yesus, melainkan kemunafikan hidup orang Farisi.

Di atas telah diuraikan karakteristik pemimpin dalam Perjanjian Lama. Bagaimana dengan Perjanjian Baru? Keterbatasan tempat tidak memungkinkan untuk menguraikannya. Secara umum dapat terlihat kesentralan firman Allah dalam kehidupan Yesus. Injil Matius, sebagai contoh, merekam hampir verbatim lima khotbah Yesus. Analisis kepemimpinan Musa dan Ezra telah membawa kita kepada satu pemahaman mendasar bahwa pada hakikatnya, Musa dan Ezra adalah pelayan firman Allah.

Jika kita dapat mengatakan bahwa Musa dan Ezra adalah pelayan Firman Allah, maka kita telah melihat unsur kontinuitas kepemimpinan Kristen yakni Firman Allah. Sebenarnya, keberhasilan dan kegagalan seorang pemimpin diukur dari kesetiaannya terhadap firman Allah. Seorang pemimpin adalah pelayan firman Allah. Sebagai pelayan firman Allah, pemimpin menghidupkan firman Allah melalui dan di dalam hidupnya. Kepemimpinannya bertahan bukan karena pedang kekuasaan tetapi firman Allah. Firman Allah datang ke dalam hidup komunitas umat Allah melalui khotbah. Sebelum firman Allah dihidupkan dalam kehidupan masyarakat terlebih dahulu, firman Allah harus dihidupkan melalui khotbah di jemaat
  2.  Tugas menghidupkan firman Allah melalui khotbah adalah tugas pemimpin. Melalui khotbah yang hidup, seorang pemimpin umat Allah mampu mentransformasikan masyarakat. Hanya dengan firman Allah, umat Allah dapat memiliki dampak transformasi abadi terhadap masyarakat. Dengan demikian, pembangunan jemaat melalui khotbah menjadi kunci utama terjadinya transformasi masyarakat, dan pembangunan jemaat hanya terjadi melalui firman Allah yang dihidupkan oleh pelayan firman Allah.

Masyarakat Indonesia saat ini berada dalam suatu situasi krisis yang sering diringkas ke dalam satu kata yakni "reformasi". Artinya masyarakat Indonesia membutuhkan suatu perubahan radikal dalam segala bidang kehidupannya. Bangsa Indonesia sedang mencari bentuk masyarakat dan moralitas yang sesuai dengan bentuk sosial tersebut. Apakah reformasi demikian sedang atau akan terjadi dapat diperdebatkan? Namun yang jelas, jika perubahan drastis terjadi, maka masyarakat akan terus menerus menghadapi berbagai bentuk kejutan sosial dan budaya. Unsur diskontinuitas terlalu dominan, mengakibatkan banyak masyarakat tidak siap menghadapi perubahan sosial dan budaya tersebut, karena sirnanya bentuk masyarakat dan moralitas lama. Masyarakat menjadi bingung dan hidup tanpa arah. Terhadap masyarakat tanpa gembala tersebut, umat Allah harus bangkit memimpin dengan menunjukkan belas kasihan (compassion). Artinya? Umat Allah secara komunal menghidupkan firman Allah, sehingga masyarakat dapat hidup sebagai masyarakat. Tanpa umat Allah hidup sebagai umat Allah, maka masyarakat tidak memiliki arah untuk hidup sebagai masyarakat. Umat Allah yang hidup sebagai umat Allah adalah pelayan firman Allah. Agar umat Allah dapat hidup sebagai umat Allah, perlu terlebih dahulu pemimpin menghidupkan firman Allah.

Jika penyentralan firman Allah terlihat jelas dalam kehidupan bergereja masa kini, maka sebenarnya perhatian terhadap bidang-bidang lain tidak perlu terlalu berlebihan. Kelihatannya banyak pemimpin kehilangan kesentralan firman Allah dalam kehidupan bergereja, sehingga tidak heran jika sentral "keahlian"  menggantikan pusat firman Allah. Bila keahlian sudah menjadi sentral, tidak heran bila fokus pelayanan tidak lagi pada manusia. Kita tidak menolak berbagai keahlian yang juga adalah berkat Tuhan bagi gereja. Tetapi kedudukannya tidak berada di pusat kehidupan bergereja. Hanya pemimpin yang meletakkan firman Allah dalam pusat pelayanannya, dapat melihat manusia sebagai fokus pelayanannya.

Jadi, khotbah sebagai upaya menghidupkan firman Allah, bukan suatu pilihan atau alternatif dalam pembangunan jemaat. Khotbah adalah "sine qua non" (unsur utama/syarat utama) pembangunan jemaat. Khotbah yang menghidupkan firman Allah tidak hanya membangun jemaat, tetapi juga memiliki dampak kekal kepada masyarakat. Dengan demikian, kepemimpinan pelayan Firman Allah tidak terbatas di ruang gereja, tetapi keluar meluap secara berlimpah ke dalam masyarakat. Kepemimpinan demikian bertahan kukuh dalam arus perubahan zaman.

Memusatkan khotbah sebagai upaya untuk menghidupkan firman Allah, terlihat jelas dalam kepemimpinan Martin Luther sang reformator .
3. Ketika umat Allah berada dalam situasi krisis, Martin Luther membawa kembali firman Allah ke tengah kehidupan umat. Martin Luther tidak hanya seorang teolog, tetapi seorang pengkhotbah. Luther dalam Large Catechism 1530 menulis, "Saya seorang doktor dan juga pengkhotbah". Diperkirakan jumlah khotbah Luther mencapai 2000 buah. Bagi Luther, khotbah mendapat tempat terpenting dalam liturgi Protestan. Luther menyadari bahwa beribadah berarti mendengar khotbah. Khotbah, bagi Luther, bukan hanya sekadar perkataan manusia karena khotbah adalah perkataan Tuhan. Roh Kudus juga berperan aktif dalam khotbah. Tentang peran Roh Kudus dalam khotbah, Luther menulis "Tidak ada satu pun yang dapat mengerti Allah atau firman-Nya, kecuali dia sudah menerima pengertian langsung dari Roh Kudus". Bagi Luther, firman Allah dan Roh Kudus tidak terpisahkan seperti suara dan napas yang muncul saat berbicara. Intinya khotbah adalah Allah berbicara kepada manusia dengan bahasa manusia.

Kesimpulan

“ Kepemimpinan biblika adalah bentuk kepemimpinan yang berjalan dalam tradisi biblika. Frasa "tradisi biblika" menunjuk pada pusat firman Allah dalam kepemimpinan seseorang. Firman Allah menjadi sumber otoritas, dasar, dan tujuan kepemimpinan. Kepemimpinan biblika berdampak kekal dalam pembangunan jemaat ”.
 Sebagai pelayan firman Allah, seorang pemimpin membangun jemaat Kristus untuk berdiri kukuh dalam bangunan firman Allah. Jemaat yang telah dibangun oleh dan dalam firman Allah, pada gilirannya akan memimpin masyarakat untuk hidup sebagai masyarakat. Tanpa kepemimpinan gereja, maka masyarakat tidak punya arah dan tujuan untuk hidup sebagai masyarakat. Masyarakat melihat jemaat yang dihidupkan oleh firman Allah supaya masyarakat dapat hidup sebagai masyarakat. Jelaslah, kepemimpinan biblika memiliki dimensi personal dan komunal yang dijalin kuat oleh firman Allah. Seorang pemimpin memimpin jemaat dengan menghidupkan firman Allah melalui dan di dalam hidupnya, kemudian jemaat melanjutkan kepemimpinan kepada masyarakat. Kedua bentuk pengaruh personal dan komunal terkait secara kausalitas. Jadi, yang dibutuhkan gereja sepanjang masa adalah orang Kristen yang menghidupkan firman Allah di dalam dan melalui hidupnya. Inilah awal kepemimpinan biblika.

"Salah satu ujian kepemimpinan adalah kemampuan dalam mengenali masalah sebelum masalah itu menjadi berat." (Arnold H. Glasow)

Salam kasih saya,
Efraim Matandatu.




1 komentar:

  1. Salam kasih, perkenalkan nama saya Hendry dari Jakarta. Saya terberkati sekali dengan tulisan Anda. Hanya sayangnya Anda tidak memasukan sumber referensi tulisan Anda. Sumber referensi sangat penting sebagai bentuk apresiasi kita kepada penulis asli, sekaligus menghindari mentalitas plagiarisme yang merusak bangsa ini. Sumber asli: Barus, Armand. "Kepemimpinan Biblika: Musa Dan Ezra Sebagai Pelayan Firman." Jurnal Veritas 5 (Oktober 2014): 245-263.

    BalasHapus